Bali masih menjadi destinasi terfavorit bagi masyarakat di Indonesia. Tidak hanya karena keindahan alamnya saja namun wisata kuliner dan juga tradisi ataupun beberapa hal yang menyangkut kebudayaan masyarakat di Bali yang tidak boleh dilanggar. Kita pasti sering mendengar cerita-cerita seram dari orang di sekitar kita maupun di internet mengenai ‘bahaya’-nya menginjak sesaji.
Canang sari / Canang merupakan sebuah upakara (Secara etimologi istilah upakara berasal dari kata upa yang berarti dekat, dan kara yang berarti tangan,Upacaea memiliki makna sebagai persembahan suci yang berasal dari kreativitas tangan, yang diberikan oleh umat Hindu untuk persembayangan sehari-hari.
Canang sari biasanya di letakkan di pura depan rumah, pintu masuk, persimpangan jalan, di toko, juga lokasi lainnya. Canang sari dianggap sebagai simbolis Tuhan, Manusia dan Alam semesta yang berdampingan karena umat Hindu menganut konsep keseimbangan Tri Hita Karana.
Jangan pernah menginjak Canang sari karena Canang sari merupakan prosesi yang sakral oleh sebab itu sesajen atau canang tidak boleh dilangkahi, diinjak, atau dirusak oleh siapapun.
Setiap pagi, masyarakat Bali biasa memulai hari mereka dengan berdoa dan mempersembahkan sesajen bunga untuk para Dewa-Dewi Bali, untuk memanjatkan rasa syukur mereka karena telah diberikan kesejahteraan dalam hidup mereka. Selain itu, sesajen (orang Bali biasa menyebutnya Sesaji) juga digunakan oleh para masyarakat Bali sebagai ritual untuk memperoleh keberuntungan dan menolak kesialan.
Ada berbagai jenis sesaji di Bali, yaitu; sesaji sederhana yang dipersembahkan setiap hari dan sesaji istimewa yang digunakan pada hari-hari raya keagamaan tertentu.
Selain itu, sesajen yang dipersembahkan kepada leluhur akan di taruh di dataran tinggi seperti altar, lalu sesaji yang dipersembahkan kepada roh-roh akan ditaruh pada bagian yang rendah seperti di lantai atau di jalan.
Sesajen bisa dipersembahkan dalam berbagai macam rupa, seperti buah, lauk-pauk, dan bunga. Bentuk sesaji yang sering ditemui di jalan-jalan Bali adalah bunga, karena memiliki makna filosofis untuk ‘mengharumkan’ tanah yang didirikan oleh para leluhur agar mendapatkan berkat yang berkelimpahan kepada keturunan mereka dan tidak lupa dupa yang dinyalakan untuk sebagai simbol untuk mengantarkan doa atau persembahan kepada Tuhan.